Rabu, 05 September 2012

Air di Jakarta Barat tidak layak konsumsi


JAKARTA, KOMPAS.com — Mayoritas air bersih di wilayah Jakarta Barat hanya dapat digunakan untuk mandi dan cuci. Tingginya kandungan zat besi membuat air tidak layak diminum.
"Air tanah yang digali di Jakarta Barat tidak bisa digunakan untuk konsumsi, hanya bisa digunakan untuk mandi," ujar Supardiyo, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Barat, kepadaKompas.com, Selasa (4/9/2012).
Supardiyo menambahkan, untuk air layak konsumsi, masyarakat bisa memanfaatkan air PAM yang banyak dijual pedagang air keliling. Air yang dijual tersebut berasal dari PAM sehingga dapat dikonsumsi dan aman bagi kesehatan.
Selain itu, Supardiyo mengatakan, warga dapat mengebor sumur di sekitar rumah tanpa mengajukan surat permohonan izin kepada pemerintah setempat.
Syaratnya, sumur tersebut hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga. Kedalaman sumur tersebut juga tidak boleh melampaui 40 meter.


Supardiyo melanjutkan, jika pengeboran melebihi 40 meter atau sumur tersebut digunakan untuk keperluan usaha, maka warga harus mengajukan surat permohonan kepada pemerintah kota.
Wilayah Jakarta Barat juga termasuk wilayah yang mudah mendapatkan air, tidak seperti di Jawa Tengah.
Supardiyo mengungkapkan, dengan mengebor kedalaman 5-10 meter, masyarakat sudah bisa mendapatkan air. Namun, air tersebut hanya bisa digunakan untuk mandi dan cuci, bukan untuk konsumsi.
Burhanuddin, Wali Kota Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa mengenai air bersih ataupun pengeboran untuk menemukan air bersih harus melalui prosedur yang sudah disiapkan Sudin Lingkungan Hidup.
Jika Sudin Lingkungan Hidup sudah memberikan izin, maka warga bisa melakukan pengeboran. "Yang namanya pengeboran kan menyangkut lingkungan. Kita harus menjaga lingkungan sekitar kita, jadi ikuti aturan yang diberikan Sudin Lingkungan Hidup," ungkap Burhanuddin.

JAKARTA, KOMPAS.com — Hidup di kota besar seperti Jakarta bukan berarti mudah mendapatkan segala fasilitas yang melimpah ruah di Ibu Kota. Di Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, misalnya, warga masih kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
Selama berpuluh-puluh tahun, hampir seluruh warga di kawasan padat penduduk itu membeli air bersih pada tukang air keliling. Itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan sumber air bersih.
Pengalaman sulit mendapatkan air bersih juga dialami Mardi (47). Warga RT 03 RW 06, Jembatan Besi, sudah sepuluh tahun tinggal di tempat tersebut. Selama itulah ia dan keluarganya menggantungkan kebutuhan air bersih pada tukang air keliling. Setiap hari ia selalu membeli lima jeriken air bersih. "Di sini susah untuk (berlangganan) air PAM," katanya, Selasa (4/9/2012).
Di sisi lain, kesulitan warga itu menjadi sumber penghasilan bagi para penjual air keliling. Yanto (48), misalnya, sudah 15 tahun mendorong gerobak berisi jeriken-jeriken air bersih dari rumah ke rumah warga. Air itu dibelinya dari tempat pengisian air PAM milik salah satu warga di Jembatan Besi, tepatnya depan kantor Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat.
"Saya menjual ke warung, permukiman warga, pedagang kaki lima dengan harga Rp 1.000 per jeriken isi 25 liter," kata Yanto, Selasa (4/8/2012).
Yanto membeli air bersih dengan harga Rp 2.000 per gerobak. Satu gerobak berisi 16 jeriken berkapasitas 25 liter per jeriken. Yanto kemudian menjualnya dengan harga Rp 1.000 per jeriken. Jika dikurangi dengan harga beli, Yanto bisa mendapatkan Rp 14.000 per gerobak.
Pada musim kemarau seperti ini, Yanto bisa menjual lebih dari 15 gerobak per hari atau Rp 210.000 per hari. Pada hari biasa pendapatannya bisa berkurang separuh, sekitar 8 jeriken per hari atau Rp 112.000 per hari. Itu belum dikurangi biaya makan dan minum. "Biasanya saya bisa dapat Rp 70.000 per hari. Kalau musim kemarau bisa Rp 150.000 per hari," ujarnya.
Kepala Kantor KLH Jakbar Supardiyo membenarkan bahwa di wilayah Jakarta Barat, khususnya Tambora, memang sulit air bersih. Ia mengatakan, warga sulit mendapatkan air bersih PDAM karena kawasan itu tidak dilalui pipa-pipa air bersih dari sumber air Sungai Citarum maupun Cisadane. Kalaupun ada, kata Supardiyo, ada risiko terjadinya pencurian pipa oleh warga. Hal inilah yang membuat perusahaan air minum di Jakarta enggan melayani penduduk di kawasan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran dan Masukan silahkan

Arsip Blog

Pengikut

Linkedin

Kontributor